BeritaNasional

Harris Turino Soroti Wacana Redenominasi Rupiah 1000:1, Efisiensi Ekonomi Harus Diimbangi Kesiapan Nasional

8
×

Harris Turino Soroti Wacana Redenominasi Rupiah 1000:1, Efisiensi Ekonomi Harus Diimbangi Kesiapan Nasional

Share this article
Harris Turino Soroti Wacana Redenominasi Rupiah 1000
Anggota Komisi XI DPR RI, Harris Turino.

SUBANG – Wacana redenominasi rupiah 1.000:1 kembali mencuat setelah disampaikan oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Kebijakan ini menandai langkah besar pemerintah menuju modernisasi sistem keuangan nasional. Namun, di tengah peluang penyederhanaan nilai mata uang, kebijakan ini juga menghadirkan tantangan serius dalam kesiapan implementasi.

Pemerintah menargetkan kerangka regulasi redenominasi rampung pada 2026–2027. Meski demikian, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada stabilitas fiskal, moneter, kesiapan teknis, dan penerimaan psikologis masyarakat terhadap perubahan nilai rupiah.

Menurut Anggota Komisi XI DPR RI, Harris Turino, kesuksesan redenominasi tidak diukur dari seberapa banyak nol yang dihapus, tetapi dari kekuatan fondasi makro ekonomi dan kedisiplinan pemerintah dalam masa transisi.

Fondasi Makro Ekonomi Saat Ini Dinilai Cukup Kuat

Secara makro, kondisi ekonomi Indonesia dinilai cukup stabil. Inflasi IHK Oktober 2025 tercatat 2,86 persen (yoy) — masih dalam kisaran aman untuk pelaksanaan kebijakan sensitif seperti redenominasi. Bank Indonesia juga memastikan stabilitas harga tetap terjaga, sementara IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025–2026 berada di kisaran 4,9 persen dengan inflasi rendah.

Rasio utang pemerintah saat ini sekitar 40 persen terhadap PDB, masih di bawah ambang risiko global, meskipun Debt Service Ratio (DSR) juga mencapai angka serupa.

“Kondisi ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk mempertimbangkan redenominasi tanpa tekanan makro yang ekstrem,” ujar Harris.

Harris juga menegaskan pentingnya belajar dari pengalaman negara lain. Ia menyebut bahwa Turki, Romania, dan Ghana telah menjadi studi kasus berharga terkait kebijakan redenominasi.

Turki, misalnya, berhasil memangkas enam nol pada tahun 2005 berkat proses stabilisasi inflasi yang kuat dan kredibilitas otoritas moneter yang tinggi. Sebaliknya, Zimbabwe gagal menjalankan kebijakan serupa karena dilakukan tanpa disiplin fiskal dan minim kepercayaan publik.

“Kesimpulannya jelas: redenominasi bukan obat dari inflasi atau defisit, melainkan buah dari stabilitas yang telah dicapai,” tegasnya.

Tantangan Teknis di Era Ekonomi Digital

Menurut Harris, kompleksitas teknis Indonesia saat ini jauh lebih besar dibanding satu dekade lalu.

“Rupiah hidup di berbagai ekosistem—uang kartal, rekening, e-wallet, QRIS, e-commerce, hingga smart contract dan aset digital,” katanya.

Ia menegaskan bahwa redenominasi bukan hanya sekadar mencetak uang baru, tetapi juga sinkronisasi nominal pada miliaran entri data dalam sistem keuangan dan pembayaran digital. Jika tidak dikelola dengan presisi, risikonya mencakup kesalahan pembulatan harga, gangguan transaksi, hingga potensi serangan siber.

Butuh Landasan Hukum yang Kokoh

Harris menekankan bahwa keberhasilan redenominasi harus ditopang oleh RUU Redenominasi yang menjadi dasar hukum utama kebijakan ini.

“Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa perubahan nilai rupiah adalah domain undang-undang, bukan sekadar regulasi teknis,” ujarnya.

RUU tersebut, menurutnya, harus disusun secara kolaboratif antara Bank Indonesia, OJK, pelaku industri keuangan, dan pemerintah daerah. Isinya perlu mencakup tahapan harga ganda, mekanisme penarikan uang lama, serta audit sistem pembayaran nasional.

Dampak Jangka Pendek: Gangguan Psikologis dan Teknis

Harris juga mengingatkan bahwa masa transisi tidak akan mudah. Salah satu risiko utama adalah money illusion, ketika masyarakat merasa harga-harga naik karena format angka berubah.

Fenomena ini bisa menyebabkan pembulatan harga ke atas, terutama di kalangan pelaku UMKM yang masih mencatat transaksi secara manual. Selain itu, biaya penyesuaian sistem di dunia usaha, perbankan, dan e-commerce juga tidak kecil—mulai dari pembaruan software, label harga, invoice, hingga kontrak bisnis.

“Bagi pemerintah, masa transisi juga memerlukan biaya logistik besar—pencetakan uang, edukasi publik, pembaruan ATM, hingga pengawasan harga,” jelas Harris.

Manfaat Jangka Panjang: Modernisasi dan Efisiensi Sistem Keuangan

Meski penuh tantangan, redenominasi memiliki manfaat jangka panjang yang signifikan, antara lain:

  1. Memperkuat persepsi stabilitas rupiah dan meningkatkan kredibilitas monete.
  2. Meningkatkan efisiensi sistem pembayaran karena penyederhanaan digiti menurukan risiko kesalahan.
  3. Menyederhanakan pelaporan keuangan di sektor publik dan swasta.
  4. Meningkatkan literasi harga dan kepercayaan publik terhadap rupiah.

Harris menilai bahwa pelaksanaan redenominasi harus dilakukan pada momentum yang tepat, terutama dengan mempertimbangkan ketidakpastian global, perang dagang, dan fluktuasi harga komoditas.

“Kerangka hukum perlu disiapkan sekarang, tetapi tanggal implementasi harus bergantung pada stabilitas inflasi dan kesiapan sistem,” paparnya.

Ia menegaskan bahwa redenominasi tidak boleh hanya menjadi ‘proyek kosmetik’ atau simbol stabilitas semu, melainkan bagian dari strategi modernisasi ekonomi nasional.

“Daya beli masyarakat ditentukan oleh inflasi dan produktivitas, bukan jumlah nolnya. Kalau fondasinya kuat, redenominasi bisa meningkatkan efisiensi dan kenyamanan publik,” tutupnya.

Sumber : GenMilenial.Id